Vaksin COVID-19 Johnson & Johnson terlihat di Rumah Sakit Universitas South Shore milik Northwell Health di Bay Shore, New York, AS, 3 Maret 2021. (Foto: REUTERS/Shannon Stapleto) |
BorneoTribun.com -- Badan-badan kesehatan federal Amerika Serikat (AS) pada Selasa (13/4) menyerukan penghentian segera penggunaan vaksin virus corona dosis tunggal Johnson & Johnson, setelah enam penerimanya di AS mengalami gangguan kesehatan langka yang melibatkan penggumpalan darah dalam waktu sekitar dua minggu setelah divaksinasi.
Keenam penerimanya adalah perempuan berusia antara 18 dan 48 tahun. Seorang di antaranya meninggal dan perempuan kedua di Nebraska telah dirawat di rumah sakit dalam kondisi kritis.
Hampir tujuh juta orang di Amerika Serikat telah menerima suntikan Johnson & Johnson sejauh ini, dan sekitar sembilan juta lebih dosis telah dikirim ke negara-negara bagian, menurut data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC).
“Kami merekomendasikan jeda dalam penggunaan vaksin ini karena perlu berhati-hati," kata Dr. Peter Marks, Direktur Pusat Evaluasi dan Penelitian Biologi Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA), dan Dr. Anne Schuchat, Wakil Direktur Utama CDC, dalam pernyataan bersama. "Saat ini, kejadian buruk ini tampaknya sangat jarang terjadi."
Sementara langkah itu ditujukan sebagai rekomendasi untuk praktisi kesehatan di negara-negara bagian, pemerintah federal diharapkan untuk menghentikan sementara pemberian vaksin itu di semua pusat vaksinasi yang dikelola pemerintah federal.
Pejabat federal berharap pejabat kesehatan negara bagian akan menganggap itu sebagai sinyal kuat untuk melakukan hal yang sama. Dalam waktu dua jam setelah pengumuman, Gov. Mike DeWine dari Ohio, seorang Republikan, menyarankan semua penyedia kesehatan di negara bagiannya untuk sementara berhenti memberikan suntikan Johnson & Johnson. Negara Bagian New York dan Connecticut dengan segera mengikutinya. [ab/uh]
Oleh: VOA
*BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS