Lovenia Joan Shannia: Domia Gawai Dayak Nosu Minu Podi XXI Kabupaten Sanggau
SANGGAU - Selasa malam, 8 Juli 2025 boleh jadi bakal jadi malam yang paling dikenang oleh Lovenia Joan Shannia, yang akrab disapa Shannia, dara 17 tahun asal Pusat Damai, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau.
Meski semarak Gawai Dayak Nosu Minu Podi bukan hal baru untuknya, namun malam itu, bersama rekan satu kontingen – DAD Kecamatan Parindu, Felix Ricky Aditama, dinobatkan sebagai juara 1 Domia Gawai Dayak Nosu Minu Padi XXI Sanggau.
Ricky dan Shannia sukses menyandingkan “Domamang dan Domia”, Adam dan Hawa dalam legenda Dayak Bidayuh.
Ini sebuah sejarah sepanjang pagelaran Gawai Dayak Nosu Minu Podi. Di mana pemenang lomba “Domamang dan Domia” diborong oleh satu kontingen.
Langkah anggun gemulai Shannia di atas panggung Gawai Dayak Nosu Minu Podi 2025 memang begitu memikat. Bulu enggang hiasan kepalanya serupa doa dan harapan yang menjulang.
Dia tidak sekadar memikat sacara ragawi, kecerdasannya dalam menjawab sejumlah pertanyaan juri, membuat para juri tak ragu menabalkannya sebagai pemenang.
Ia memang layak, bukan semata karena kecantikannya, terutama karena misi yang tersimpan dalam benaknnya.
Maka, ketika namanya disebut sebagai pemenang lomba Domia, langit Betang Raya Dori’ Mpulor serasa runtuh oleh tempik sorak para pendukungnya.
Shannia adalah perpaduan sempurna Dayak Panu dan Tionghoa, yang mengalir dalam jiwanya.
Di atas panggung malam itu, Shannia tersenyum lembut tapi tegas, berbusana adat yang agung dan penuh makna.
![]() |
Gawai Dayak Nosu Minu Podi XXI Kabupaten Sanggau. |
Shannia, buah cinta dari dua darah yang berpadu, Martinus Nomensen, ST, SE, MM – ayahnya, Dayak Pandu, figur birokrat yang dihormati di lingkungan Pemerintah kabupaten Sanggau.
Sedangkan ibunya Mui Sian Indrawati, Tionghoa Pemangkat adalah pewaris nilai tanggung jawab dan cinta budaya.
Dari keduanya, dara kelahiran Pontianak, 4 Desember 2007 mendapat akar yang kokoh dan sayap yang lentur, tegak berdiri dalam adat, tapi bebas mengepak cita-cita ke cakrawala dunia.
Dengan dinobatkan sebagai Domia Kabupaten Sanggau Tahun 2025 – semacam putri Gawai Dayak – gelar bergengsi yang bukan hanya menilai rupa, tetapi menakar hati, visi, dan dedikasi terhadap budaya.
Dengan kemenangan ini, Shannia dan Ricky resmi menjadi Duta Kabupaten Sanggau untuk ajang Bujang Dara Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2026.
Shannia bukan sekedar pemenang, tetapi representasi generasi muda Dayak yang berpijak pada akar budaya dan menatap masa depan dengan tekad dan percaya diri.
“Kami ingin membuktikan bahwa budaya bukan beban masa lalu, melainkan pelita yang menerangi jalan ke depan,” ujar Shannia ketika dihubungi melalui media social whatsapp. Suaranya terdengar sumringah.
Shannia adalah buah dari pohon yang tumbuh dari di dua dunia: Dayak dan Tionghoa, lokal dan global.
Ia mengawali pendidikan di SD Subsidi Pusat Damai, melanjutkan ke SMP Gembala Baik Pontianak, SMA Santa Maria Yogyakarta, dan kini diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Shannia beruntung tumbuh dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai pendidikan, pengabdian dan iman.
Perjalanan pendidikan Shannia mencerminkan tekad, disiplin, dan arah hidup yang jelas. Meski tak pernah bergabung dalam sanggar seni, kecintaan Shannia pada budaya terus tumbuh. Ia kerap tampil dalam lomba dan kegiatan publik.
Ketika di SMA ia menjabat Ketua Osis. Ketika SMP Shannia meraih medali perunggu pada ajang Kompetisi Sains Nasional (KSN) Bidang IPS Tingkat Nasional.
Di Yogyakarta, ia pernah menjadi MC pentas budaya di Plaza Malioboro dan Perayaan Natal dan Kartini di Titik Nol Kilometer. Ini prestasi luar biasa untuk seorang siswi SMA.
Ajang Gawai Dayak Nosu Minu Podi sendiri tak asing baginya. Meski tak menjadi juara, ia pernah menjadi peserta Lomba Abang Ayong Gawai Dayak Nosu Minu Podi tahun 2014 dan 2018.
Shannia berhasil membuktikan, bahwa anak daerah bisa bersaing dengan anak-anak lain.
Namun di balik semua itu, ia tetap Shannia yang sederhana, yang jatuh cinta pada tanah, hutan, bahasa dan adat Dayak. Di kampung halaman ayahnya, ia terbiasa menyaksikan ritual, nyanyian, dan tarian adat.
Bagi Shannia, budaya bukan sekadar tampilan visual atau gelar kehormatan, tetapi jati diri arah hidup dan cara mencintai alam.
Maka, penampilannya dalam pemilihan Domia Sanggau 2025 terlihat maksimal. Ia tampil dengan penuh kepekaan dan kekuatan personal yang menyatu.
“menjadi Domia bukan soal gelar. Ini soal menjaga warisan, memperjuangkan ruang perempuan, dan menyuarakan pentingnya merawat alam,” ucap Shannia.
![]() |
Gawai Dayak Nosu Minu Podi XXI Kabupaten Sanggau. |
Salah satu kekuatan Shannia adalah kemampuannya dalam menguasai beberapa bahasa asing.
Dengan kefasihan berbahasa Inggris, Shannia ingin menjembatani nilai-nilai adat dengan dunia luar, membuka ruang dialog antara tradisi dan masa depan.
“Bahasa bisa membuka pintu. Tapi budaya adalah kunci yang menjaga rumah kita tetap utuh,” ujarnya berfalsafah.
Di balik pesona panggung, Shannia menyimpan satu misi pribadi yang kuat: melindungi hutan dan air tanah Kalimantan.
Ia sadar bahwa keberlangsungan budaya tidak bisa dilepaskan dari kelestarian alam.
“Tanpa hutan, taka da rumah bagi budaya Dayak. Tanpa air, taka da kehidupan. Maka saya ingin menjadi suara yang mengingatkan, bukan hanya merayakan,” tegas gadis yang baru saja diterima sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Jember ini.
Mengikuti ajang Domia Gawai Dayak Nosu Minu Podi Kabupaten Sanggau, menurut Shannia, adalah bagian dari perjuangannya mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam bidang kesetaraan gender.
“Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan itu hebat dan mengambil peran penting dalam pelestarian budaya dan pembangunan,” tuturnya.
Keberhasilan Shannia tak dicapainya sendiri. Ia menyebut peran besar dari DAD (Dewan Adat Dayak) Kecamatan Parindu, juga bang Patra dan Kak Dea yang telah membimbingnya sebagai mentor.
“Saya hanya satu daun dari pohon besar yang ditanam oleh banyak tangan,” ucapnya dengan rendah hati.
Sang ayah, ASN di lingkungan Pemkab Sanggau pun menyampaikan harapan tulus, “Tentu bangga, tapi kami berharap Shannia tetap membumi. Gelar ini bukan akhir, melainkan awal. Semoga ia terus bertumbuh dalam penyertaan Tuhan,” ujar Martinus Nomensen yang pernah menjabat Plt Camat Bonti dan kini bekerja di inspektorat Kabupaten Sanggau.
Dengan kemenangannya, Shannia hendak menyampaikan pesan, bahwa perempuan Dayak bisa berdiri dengan kepala tegak di panggung adat maupun forum akademik.
Bahwa suara suara budaya tidak boleh mati, hanya karena perubahan zaman. Bahwa kehormatan sejati tumbuh dari cinta, kerja keras, dan akar yang tak tercerabut.
“Aku ingin menjadi jembatan – antara akar dan bintang; antara hutan dan harapan; antara ibu tanah dan anak zaman,” pungkas Shannia penuh semangat.*
Willibrordus W., penulis, cerpenis, penyair, peminat sastra dan budaya, tinggal di Sintang, sahabat ayah Shannia.